Sunday, July 8, 2012

Korban Lapindo Mencari Keadilan Bermodal Rp 50 Ribu

Hari Suwandi 44th adalah seorang warga desa Kedung Bendo, Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur. Pria yang pernah menjadi bos bagi 20 karyawan ini melakukan sebuah aksi untuk berjalan kaki sejauh 827 Km antara Porong-Jakarta. Aksi ini dilakukannya untuk menuntut hak-haknya yang dia rasa belum dipenuhi akibat luapan lumpur panas Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo.


Berbekal niat dan tekad Suwandi berangkat dari Sidoarjo pada Kamis 14 Juni 2012 lalu. Setelah 25 hari melakukan perjalanan, dia akhirnya tiba di Jakarta pada Minggu 8 Juli 2012. Tujuannya hanya satu, bertemu dengan SBY untuk menuntut pemerintah agar memenuhi hak-hak dari warga Porong.

"Semua cara sudah kita lakukan, aksi jalan kaki ini sebenarnya merupakan sebuah cara terakhir," ujar Hari sat ditemui di Kantor KontraS Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, Minggu (8/7/2012). Dalam beraksi, Hari ditemani rekannya, Harto Wiyono, yang mengendarai sepeda motor.

Hari bercerita dalam melakukan aksi ini dia memilih untuk melalui jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) dan di setiap kota yang dilewati dia juga menyempatkan untuk singgah. Hal ini dilakukannya agar dapat memperoleh dukungan dari masyarakat.

"Saat saya bertemu dengan elemen masyarakat, mereka kebanyakan terkejut. Karena mereka berpikir sebelumnya, bahwa permasalahan mengenai penanganan lumpur Lapindo ini sudah diselesaikan," tutur Hari yang mengenakan baju lurik dan bercaping ini. Kulitnya legam karena terbakar mentari.

Hari juga menuturkan kisahnya yang mengaku sempat dicopet ketika berada di wilayah Rembang, Jawa Tengah. Dengan hanya mengantongi Rp 50 ribu, Hari membekali diri dengan kepingan CD yang berisi tentang kondisi warga Porong setelah wilayahnya terendam lumpur panas.

"Saya berhasil menjual beberapa keping CD, hasilnya saya bisa memperoleh uang sekitar Rp 750 ribu tapi belum sempat saya manfaatkan uang itu dicopet. Untung saja saya bisa sampai di Jakarta dengan selamat," ucap pria 3 anak, yang perjalanannya menghabiskan 8 sandal ini.

Hari menambahkan luapan lumpur Lapindo mempunyai dampak yang hebat kepada masyarakat. Sebelum adanya luapan lumpur tersebut, wilayah Porong adalah wilayah yang perekonomiannya bisa dibilang maju, karena aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh warganya cukup beragam. Mulai dari bertani hingga industri kerajinan, yang memang dikenal menjadi sandaran hidup bagi warga Porong.

"Saya sendiri sebelum adanya luapan lumpur mempunyai industri kerajinan tas dan dompet. Saya mempekerjakan sekitar 20 orang pekerja dengan omzet mencapai Rp 3-4 juta sebulan. Namun dengan adnya luapan lumpur ini semuanya harus ditutup, karena mesin-mesin produksi tidak bisa diselamatkan, dan yang lebih parah saya dianggap tidak memiliki aset dan tidak mendpat ganti-rugi," kisahnya.

Dengan situasi yang dia rasa tidak adil, karena banyak korban yang sebenarnya terkena dampak Porong untuk pertama kali tidak mendapat ganti-rugi, dia akhirnya memutuskan melakukan aksi ini. Dia menuntut pemerintah untuk memberi ganti-rugi terhadap warga yang berada di wilayah-wilayah yang termasuk dalam peta terdampak.

"Sekarang ini yang mendapat ganti-rugi adalah warga dari wilayah yang tidak masuk peta terdampak, kita akan terus berusaha agar yang mendapat ganti-rugi memang benar warga yang berada di wilayah terdampak. Setelah itu dipenuhi kita akan melakukan tuntutan lain, ini harus step by step," imbuhnya.